Selamat Datang Di Blog "_rist site_"

Selamat Datang Di Blog "_rist site_"

Senin, 16 November 2015

TULISAN 2 - PERILAKU KONSUMEN

FINAL PIALA PRESIDEN (Siaga 1) VS KABUT ASAP





Pengalihan issue kerap kali menjadi pengalih perhatian akan suatu masalah yang sedang terjadi. Tidak pandang buluh atas kasus apa yang sedang hangat untuk diperbincangkan, bahkan solusi yang sudah menjadi "URGENT"  pun kan kadang terlewatkan.
Fenomena ini sangat kontras terjadi ketika kita membahas akan kondisi Kabut Asap yang terjadi belakangan ini di beberapa wilayah di Indonesia. RIAU dan Jambi sejak Agustus silam, Kalimantan khusunya kota Berau dan Palangkaraya dan sekitarnya yang sudah sangat parah diselimuti oleh Kabut Asap. Apabila dilihat dari konsdisi yang terjadi di lapangan, solusi akan kondisi ini sudah sangat dibutuhkan oleh sahabat atau teman-teman yang tinggal di daerah kabut asap ini.


Faktanya, kondisi tersebut sepintas dapat terlaih jika kita bandingkan dengan adanya Pertandingan final Piala Presiden yang mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC akan berlangsung di Stadion Gelora Bung Karo, Jakarta. Gara-gara pertandingan ini, Polda Metro Jaya memberlakukan status Siaga 1 dengan mengerahkan puluhan ribu aparat keamanan. Sebuag meme sindirian pun turut muncul di media sosial yang membandingkan status Jakarta dengan status Kabut Asap yang telah membuat rakyat Sumatera dan Kalimantan sengsara.

Perseteruan antara The Jak dengan Bobotoh memang terus terjadi dan seringkali memakan korban. Paling sering adalah razia yang dilakukan oleh ke dua kubu terhadap kendaraan bepelat nomor B saat di Bandung maupun kendaraan berpelat nomor D yang melintas di Jakarta. Hal itu terbukti pada Sabtu, 17 Oktober 2015 dini hari dan tadi malam. Diduga puluhan orang Jakmania menghadang bus yang melintas tol dalam kota dengan Cawang dan melemparinya dnegan batu. Akibatnya seorang terluka dan beberapa bus mengalami kerusakan seperti penyok dan kaca pecah.

Dengan keadaan yang  ada memang wajar jika pengamanan ekstra ketat harus dilakukan untuk pertandingan ini. Namun tidak salah juga jika sindiran-sindiran muncul dengan membandingkan terhadap penanganan kabut asap yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Pemerintah terkesan lambat untuk menyelesaikan dan atau bahkan juga terbilang lambat untuk memadamkan kebakaran hutan, meski Prosiden Joko Widodo bolak-balik meninjau lokasi kebakaran hutan di sana.

Ribuan aparat juga telah dikerahkan, namun hasilnya juga tidak maksimal. Sampai akhirnya pemerintah menerima tawaran Negara tetangga untuk membantu memadamkan kebakaran hutan ini. Sikap inilah yang sangat di sayangkan. Karena pemerintah seolah-olah gengsi menerima bantuan dari pihak lain, padahal korban setiap harinya terus bertambah, baik yang sakit hingga meninggal dunia akibat menderita penyakit akut dampak dari Kabut Asap ini.




PENDAPAT :
Sangat menyedihkan dan mengecewakan sekali terhadap negara yang lebih mementigngkan final Piala Presiden di Jakarta ketimbang kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan. Pada ajang Final Piala Presiden di Jakarta berlangsung sangat dilakukan penjagaan yang super duper ketat. Sementara Kabut Asap yang telah memakan ratusan korban (baik Penyakit maupun korban jiwa) dibiarkan begitu saja dan bahkan hampir tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Juga bahkan dapat dikatakan semakin parah saja kondisinya. Ratusan dan bahkan ribuan saudara-saudara kita akan berjatuhan jika kondisi ini terus-menerus dibiarkan.

Memang beberapa ari terakhir ini, semua mata tertuju pada final Piala Presiden yang di helat di Jakarta. Selain karena perselisihan antara supporter, kabar hadirnya Presiden RI, Bapak Jokowi juga menjadi magnet di Pertandingan kali ini. Seakan-akan tidak adanya tindakan nyata untuk menyikapi kondisi kabut asap yang masih terus terjadi. Seperti kita ketahui, di Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan juga Kalimantan.
Parahnya, Presiden kita Bapak Jokowi lebih mengutamakan penyelenggaraan Final Presiden yang mengabiskan banyak uang untuk biaya keamanan dan lain-lainnya, kabarnya biaya tersebut melebihi 4,8 M. sementara untuk penangan kabut asap sabagai akibat dari kebakaran lahan serta kabut asap masih tawar-menawar. Sampai Kapan Guys ?????

Selain itu, banyak juga masyarakan yang telah kecewa dengan melemahnya kondisi perekonimoan kita. Salah satunya ditunjukkan dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap mata ulang lain, juga melambungnya harga bahan pokok kita. 

Kebakaran lahan serta kabut asap telah mengganggu kehidupan masyarakat. kerugian akibat kebakaran lahan serta kabut asap diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Sebagai gambaran, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaksir kerugian akbiat kerusakan lingkungan pada kebakaran hutan dan lahan di tahun 2014 di salahg satu lahan perusahaan tanaman industri lesua 20.000 ha di area Ogan Komering Ilir (OKI) Sumateran Selatan mencapai angka Rp. 7,9 Triliun. Jambi misalnya, tahun ini mengalami kerigian lebih dari Rp. 720 Miliar. Kerugian tersbeut mulai dari sisi kerusakan lingkungan, terhambatnya kegiatan ekonomi, Transportasi (Darat dan Udara), hingga terganggunya kesehatan masyarakat.

Akibat kebakaran, ribuan hektar hutan dan lahan rusak. Satwa yang menghuni kawasan yang terbakar juga terancam mati. Di bidang ekonomi, kabut asap terutama mengganggu jadwal penerbangan. Pengusaha ternak sapi dan kerbau di Palembang, Sumsel, Ade Gita Pramadianta, mengatakan, satu pertemuan terkait usahanya tertunda beberapa hari akibat pesawat yang membawa koleganya batal terbang karena kabut asap.

Penanganan terbaik yang harus tetap dijalankan yaitu:


Reformasi Harus Terus Berlanjut

Penanganan serius terhadap masalah ini harus terus dilakukan. Perubahan serius diperlukan untuk memerangi siklus berkelanjutan dari degradasi lahan, kebakaran, dan asap yang mengganggu sebagian besar wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua (yang dapat terjadi dalam waktu dekat).

Pemerintah juga lebih terbuka tentang alokasi lahan hutan yang digunakan, menyediakan data bagi platform seperti Global Forest Watch serta meningkatkan akuntabilitas. Namun, untuk mengatasi kabut asap pada skala waktu yang relevan dan membatasi emisi gas rumah kaca, Indonesia harus berpacu dan berkejaran dengan waktu.


Berikut pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah dalam waktu dekat:

Perlindungan yang lebih kuat untuk daerah-daerah sensitif. Meskipun Indonesia memiliki kebijakan moratorium logging dan perkebunan sejak 2011, namun berbagai aktivitas terus terjadi di area gambut yang semakin memperburuk dampak kebakaran dan kabut asap. Mengingat situasi yang parah ini, pemerintah harus menegakkan moratorium konversi di semua lahan gambut hingga KLHK melengkapi ulang evaluasi konsesi di daerah gambut dalam. Audit harus dilakukan untuk memastikan semua hukum yang mengatur lahan gambut dan hutan dilakukan.

Restorasi ekosistem. Sebagai buntut dari peristiwa kebakaran lahan di masa lalu, pemilik konsesi memanfaatkan kerusakan yang terjadi untuk membuka perkebunan sawit baru. Pemerintah dapat mengakhiri praktik ini dengan menyatakan larangan penanaman di daerah yang terbakar. Insentif keuangan, mungkin dapat ditanggung oleh masyarakat internasional melalui mekanisme tertentu yang kemungkinan akan diadopsi pada KTT iklim Paris pada bulan Desember.

Pemerintah dapat menawarkan pemulihan fungsi hidrologis dan ekologis wilayah ini. Untuk memastikan bahwa upaya ini membuahkan hasil, pembiayaan dapat dikaitkan dengan hasil aktual, termasuk kompensasi yang sedang berlangsung untuk pemeliharaan ekosistem.

Pemerintah juga perlu memberi dukungan bagi perusahaan, dan tidak akan dikenakan sanksi administratif, jika mereka melakukan pengaturan yang jelas tentang stok karbon tinggi (high carbon stock) dan pelestarian wilayah bernilai konservasi tinggi (high conservation value forest). Sebuah perusahaan yang berkomitmen untuk melindungi aset alam Indonesia – yang merupakan salah satu keunggulan kompetitif sejati negara – harus dihargai oleh pemerintah, alih-alih menghadapi pencabutan izin.

Penegakan hukum. Indonesia memiliki banyak undang-undang yang di atas kertas melindungi lahan gambut yang saat ini terbakar. Tetapi dalam implementasinya, undang-undang ini sering bertabrakan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya terkesan tebang pilih.

Pemerintah Indonesia harus menangani hal ini secara serius dan konsisten, menindak para pelanggar, tak pandang bulu apakah mereka eksekutif, spekulan ataupun perambah. Lewat PP Gambut, membakar lahan tidak dapat diabaikan lagi dalam hukum nasional. Para pejabat yang secara konsisten gagal untuk mengatasi kebakaran di tingkat kabupaten harus dimintai pertanggungjawaban.

Pemantauan. Paduan antara data satelit (platform seperti Global Forest Watch) dan laporan lapangan LSM, akan membuat Pemerintah Indonesia memiliki berbagai informasi tentang lokasi kebakaran dan upaya fasilitasi bagi pemadaman kebakaran lahan dan hutan. Namun, Pemerintah Indonesia pun perlu menyiapkan peta up-to-datekonsesi yang dapat digunakan oleh para penegak hukum dan meningkatkan akuntabilitas sektor swasta.

Pentingnya informasi up-to-date akan memudahkan peran pemantauan intelijen untuk mengetahui potensi kebakaran, sebelum benar-benar terjadi. Pemodelan, jaringan pemantauan lokal dan upaya penjangkauan dan kampanye penjangkauan publik bisa membantu upaya pencegahan kebakaran, pilihan ini efektif berbiaya jauh lebih murah dari upaya pemadam kebakaran yang telah terlanjur terjadi.



Konflik tanah. Klaim tanah adalah masalah umum dijumpai di Indonesia, karena miskinnya pencatatan, kurangnya komunikasi antara berbagai tingkat pemerintahan dan lembaga, korupsi, dan berbagai praktik penipuan yang terjadi di masa lalu. Permasalahan status lahan amatlah kompleks, namun amat penting sebagai landasan membangun tata pemerintahan yang baik, termasuk untuk pengumpulan pajak, izin audit, dan perencanaan tata ruang. Jokowi perlu berkomitmen dalam alokasi waktu dan sumber daya untuk membuat kebijakan “One Map” dapat menjadi kenyataan.


Eksperimen. Pemerintah pusat perlu mendukung upaya eksperimen yang dilakukan oleh pemda baik di tingkat kabupaten maupun provinsi untuk mengatasi kebakaran lahan. Contohnya, di Kalimantan Tengah yang saat ini amat terpukul oleh kebakaran lahan. Provinsi ini coba untuk membawa semua produsen minyak sawit memberlakukan standar produksi yang berkelanjutan.


Dalam pendekatan itu, pembeli bisa yakin bahwa semua minyak sawit yang diproduksi dalam suatu wilayah yurisdiksi tertentu akan memenuhi kriteria produksi. Produsen akan terus berupaya mematuhi komitmen. Satu saja produser gagal menegakkan standar akan beresiko untuk semua, karena semua pihak di dalam satu wilayah yurisdiksi dapat kehilangan sertifikasi mereka.

Akuntansi yang komprehensif. Keputusan penggunaan lahan di Indonesia secara tradisional berfokus pada perhitungan output bruto daripada perhitungan biaya untuk mencapai output yang dihasilkan. Akibatnya perhitungan komoditas tradisional seperti sawit, kayu, pulp lebih ke nilai ekonomi manfaat langsung. Sedangkan, biaya eksternalitas seperti air dan udara polusi, penurunan dan banjir, hilangnya keamanan pangan, peningkatan suhu lingkungan, dan resiko kebakaran tinggi telah diabaikan. Krisis kabut asap saat ini menunjukkan biaya eksternal dari bisnis yang sangat tinggi.

Pemerintah Indonesia dapat membantu dengan mulai menyetel kembali insentif untuk mendorong pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan, termasuk mendorong usaha kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan yang menargetkan pengelolaan lahan kawasan non hutan di luar area gambut.

Kementerian harus menawarkan keringanan pajak untuk manajemen yang lebih baik, yang menyelaraskan tujuan intensifikasi produksi yang lebih tinggi, alih-alih sebatas hanya perluasan perkebunan. Di mana ada upaya masyarakat untuk melindungi hutan, pemerintah pun harus mengakui hak-hak mereka, bukannya malah mempermasalahkan aspek legalitasnya..

Kebijakan fiskal harus dibuat menguntungkan bagi pemerintah daerah yang melakukan program pembangunan berkelanjutan rendah karbon, sehingga lambat laun akan menghilangkan insentif untuk konversi hutan alam dan lahan gambut.


Langkah-langkah ini dapat bergerak untuk menuju Indonesia dalam mengatasi krisis lingkungan saat ini. Jokowi dapat memainkan peran tersebut. Jika publik di Indonesia, masyarakat internasional dan investor percaya bahwa Jokowi akan melaksanakan hal ini untuk membela kepentingan publik jangka panjang, mereka pasti akan bereaksi positif. Inilah saat tepat momentun bagi Jokowi.




Sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar