DAMPAK KENAIKAN DOLAR DAN UPAYA YANG DILAKUKAN AGAR
DOLAR KEMBALI STABIL
Dalam beberapa pekan belangan ini, nilai
tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup signifikan terhadap dollar hingga mendekati Rp 15.000 per dollar. Disamping itu, pelemahan nilai tukar tersebut juga dialami oleh beberapa mata uang Asia seperti Rupee (India),
Ringgit (Malaysia) dan Peso (Filipina) dengan tingkat pelemahan yang bervariasi.
Sebagaimana diketahui, nilai mata uang suatu negara terhadap
dollar US akan merosot jika penawaran (penjualan) mata uang tersebut meningkat.
Sebaliknya, permintaan yang tinggi terhadap mata uang tersebut membuat nilainya
meningkat.
Dampak
dari pelemahan nilai tukar rupiah menyebabkan harga barang-barang impor menjadi
lebih mahal. Barang konsumsi seperti pangan dan elektronik misalnya, mengalami
kenaikan harga yang signifikan. Beban industri yang bergantung pada bahan baku
dan barang modal impor seperti industri farmasi dan tekstil, juga semakin
berat. Agar tetap untung mereka terpaksa menaikkan harga jual produk mereka.
Inilah yang disebut dengan imported inflation,
inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor.
Bukan
itu saja, pelemahan Rupiah juga berimbas pada peningkatan beban utang luar
negeri baik swasta maupun pemerintah. Di sisi lain, nilai inflasi yang
meningkat pasca penaikan BBM oleh Pemerintah membuat investor khususnya di
sektor finansial cenderung khawatir akan kondisi makro ekonomi Indonesia.
Tingginya ekspektasi inflasi tersebut membuat suku bunga (yield) obligasi pemerintah naik tajam. untuk
obligasi tenor 10 tahun misalnya, naik hingga tiga persen dalam dua bulan
terakhir. Akibatnya, beban APBN semakin berat akibat sebagian besar pembiayaan
defisit ditutupi dengan utang khususnya melalui penerbitan obligasi.
Faktor
lain yang membuat rupiah terus tertekan adalah neraca perdagangan yang
terus mengalami defisit dalam beberapa kuartal terakhir. Salah satu penyumbang
defisit tersebut, adalah nilai impor minyak mentah dan BBM jauh melampaui
ekspor komoditas tersebut. Konsumsi minyak domestik yang terus melejit, tidak
diimbagi dengan peningkatan kapasitas produksi baik lifting maupun pengilangan.
Kapasitas
produksi kilang Pertamina misalnya, dibiarkan stagnan pada level 1,2 juta barel
perhari. Padahal Singapura dan Thailand saja yang konsumsi BBM-nya lebih rendah
dan bukan penghasil minyak, memiliki kapasitas kilang yang jauh lebih besar
dibandingkan Indonesia. Akibatnya sebagian produksi dalam negeri yang tidak
diserap oleh Pertamina kemudian diekspor melalui tender oleh SKK Migas yang
belakangan ditengarai banyak permainan kotor.
Selain
minyak, ketergantungan terhadap impor non migas khususnya bahan baku dan
penolong industry juga sangat tinggi. Perkembangan industri konsumsi di
Negara ini cukup tinggi.Sayangnya industri pendukung khususnya barang modal dan
bahan bakunya lebih banyak diimpor. Sebagai contoh, kebanyakan mesin dan bahan
baku industri tekstil Indonesia lebih banyak diimpor dari China. Dengan adanya
liberalisasi perdagangan, ketergantungan terhadap barang-barang dari negara
yang industrinya telah maju, semakin tinggi.
Di
sisi lain, daya saing industri domestic menghadapi berbagai pelemahan internal
yang sistematis. Pelemahan tersebut antara lain mahalnya biaya produksi akibat
kenaikan biaya energi. Tahun ini saja tiga sumber energy yaitu listrik, BBM dan
gas yang harganya dikendalikan pemerintah dinaikkan secara bersamaan. Padahal
sejumlah industri sangat sensitif terhadap perubahan harga energi tersebut
seperti industri petrokimia dan industri keramik. Rencana kenaikan gas
rata-rata 40 persen tahun ini tentu ‘menyayat hati’ kalangan industri.
Pasalnya, selain supply untuk
mereka selalu kurang akibat lebih dominanya porsi untuk ekspor, kontrak-kontrak
penjualan gas bernilai ‘miring’ seperti penjualan gas ke Fujian, hingga kini
belum mengalami penyesuaian.
Selain
itu, sebagai dampak kenaikan BI rate, suku bunga kredit yang selama ini masih
cukup tinggi di kawasan ASEAN, akan menjadi semakin mahal bagi para pelaku
ekonomi. Hal lainnya, diperkirakan tuntutan kenaikan upah akan kembali
dilancarkan oleh buruh. Sebagaimana diketahui, kenaikan inflasi membuat
Komponen Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar penetapan UMP dipastikan akan
mengalami kenaikan. Tumpukan beban-beban tersebut akhirnya membuat daya saing
ekspor Indonesia tertekan. Padahal bagi Indonesia, selain sebagai sumber
devisa, kontribusi ekspor terhadap peningkatan pendapatan nasional dan juga
penyerapan tenaga kerja sungguh sangat besar.
Berbagai
cara ditempuh Pemerintah untuk mengembalikan kestabilan rupiah baik melalui
kebijakan fiscal dan moneter. Dari sisi fiscal pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah paket kebijakan untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor. Demikian
pula dari sisi moneter, Bank Indonesia juga telah menaikkan BI rate, yang
menjadi acuan suku bunga perbankan. Sayangnya solusi-solusi tersebut hanya
bersifat temporal dan tidak menyentuh akar masalahya yang sesungguhnya.
Adapun
akar masalah tersebut yaitu:
Indonesia tidak memiliki visi untuk menjadi Negara industri yang tangguh. Bahkan perhatian utama Pemerintah adalah sekedar mendorong surplus perdagangan dengan berupaya meningkatkan ekspor dan mengurangi impor tanpa melihat kualitas barang yang diperdangkan. Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia terbatas pada komoditas SDA seperti migas, mineral dan minyak sawit ataupun industri konsumsi seperti tekstil. Di sisi lain, Indonesia amat bergantung pada barang-barang modal yang padat teknologi dan modal. Bahkan akibat gencarnya Pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi negara-negara lain termasuk pada barang-barang konsumsi seperti pangan. Akibatnya, devisa yang dikeluarkan untuk memproduksi barang-barang tersebut menjadi sangat besar.
Indonesia tidak memiliki visi untuk menjadi Negara industri yang tangguh. Bahkan perhatian utama Pemerintah adalah sekedar mendorong surplus perdagangan dengan berupaya meningkatkan ekspor dan mengurangi impor tanpa melihat kualitas barang yang diperdangkan. Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia terbatas pada komoditas SDA seperti migas, mineral dan minyak sawit ataupun industri konsumsi seperti tekstil. Di sisi lain, Indonesia amat bergantung pada barang-barang modal yang padat teknologi dan modal. Bahkan akibat gencarnya Pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi negara-negara lain termasuk pada barang-barang konsumsi seperti pangan. Akibatnya, devisa yang dikeluarkan untuk memproduksi barang-barang tersebut menjadi sangat besar.
Kebijakan moneter untuk untuk
menstabilkan rupiah dengan menaikkan suku bunga justru semakin membebani
perekonomian dan hanya menguntungkan para pemilik modal. Ini karena pembiayaan
kegiatan ekonomi skala besar-menengah di negara ini sebagian besar sumber
bersumber dari perbankan ribawi.
Dengan menaikkan BI rate, suku bunga kredit
juga akan ikut terkerek naik sehingga beban pinjaman kreditor meningkat. Bahkan
tidak sedikit dari mereka terpaksa merelakan asetnya, karena tak lagi sanggup
membayar cicilan utangnya. Di sisi lain, deposan yang memiliki dana
melimpah lebih memilih untuk menyimpan dana mereka di perbankan ketimbang
berinvestasi di sector riil. Bahkan perbankan yang mengelola dana-dana
tersebut, selain menggelontorkan likuiditas mereka di sektor riil juga diberi
keleluasaan untuk berinvestasi di sektor finansial seperti SUN dan SBI yang
bunganya dibiayai oleh Pemerintah.
Eksistensi pasar modal yang ditopang
oleh liberalisasi sector financial membuat aliran dana investasi yang sebagian
bersifat spekulatif dengan mudah masuk dan keluar tanpa rintangan berarti.
Jika para investor melihat kondisi dan prospek investasi di negara ini
menguntungkan maka dengan mudah mereka masuk sehingga nilai tukar menguat dan
bursa saham ‘menghijau’ dan demikian pula sebaliknya. Bahkan untuk menarik
keuntungan, mereka dapat menggiring situasi di pasar modal khususnya di
negara-negara berkembang. Bahkan di negara maju sekalipun, berbagai trik
dilancarkan untuk meraup untung besar. Kasus mutakhir misalnya, pengakuan
JP Morgan yang memanipulasi harga minyak pasar di pasar berjangka sehingga
melambung pada tahun 2011 dan Barclay yang memanipulasi suku bunga LIBOR.
Mata uang Rupiah termasuk dollar
adalah mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas yang bernilai(fiat
money). Dengan demikian, mata uang ini dengan mudah dapat diproduksi
oleh otoritas moneter suatu negara. Inilah yang dilakukan oleh The
Fed, bank sentral AS untuk menyelamatkan ekonomi negara terbesar di
dunia tersebut dari keruntuhan akibat krisis tahun 2008. Besarnya kendali AS
atas pasokan dolar membuat inflasi menjadi tak terkendali dan telah menyebabkan
mata uang negara-negara lain khususnya di negara-negara berkembang yang
bergantung pada dollar dan menjadi tidak stabil. Padahal, nilai tukar yang
tidak stabil sangat merugikan. Sekedar contoh, PLN pada tahun 2012 mengalami
rugi selisih sebesar Rp5,9 triliun akibat pelemahan Rupiah sehingga
utang-utangnya dalam bentuk dollar mengalami kenaikan.
Itu semua karena Amerika Serikat
adalah perekonomian terbesar di dunia. 20% dari seluruh barang dan jasa di
dunia diproduksi di Amerika Serikat, dan USD adalah mata uang de facto perdagangan
internasional. Bayangkan kalau misalkan kalau misalkan seekor gajah
sedang mencoba masuk ke kolam renang yang kecil. Meskipun gajah tersebut masuk
perlahan-lahan ke kolam renang, ombak yang diciptakan akan tetap besar. Begitu
juga dengan Amerika Serikat.
Kalau Amerika Serikat, sang
perekonomian terbesar, adalah konsumen terbesar dunia (sejak dahulu menjadibuyer
of the last resort), China kurang lebih adalah pabrik terbesar dunia.
China membeli banyak barang mentah atau setengah jadi dari
seluruh negara di dunia, dari Brazil hingga Rusia. Bayangkan kalau
misalkan ekonomi China melambat, sehingga China mengurangi belanja barang
mentah atau setengah jadi dari tiap negara, termasuk Indonesia. Perlambatan
ekonomi China tentu akan menurunkan ekspor dari tiap-tiap negara di dunia,
termasuk Indonesia.
Apa yang terjadi kalau ekspor
melemah ?
Perlu diketahui bahwa ekspor adalah
salah satu sumber utama penerimaan mata uang asing, terutama USD. Jadi, ekspor
dapat digunakan untuk mewakili supply (penawaran) USD di
Indonesia. Kebalikannya, karena biaya impor dibayar dengan USD, maka impor
dapat digunakan untuk mewakili permintaan USD. Kalau misalkan ekspor turun,
maka penawaran USD akan turun, dan (lagi-lagi), harga USD akan naik.
Efek dari pelemahan ekonomi tersebut
ditambah dengan kejutan tiba-tiba dari Beijing, yaitu pelemahan nilai
Renminbi terhadap Dollar (walaupun tidak lebih dari 3%) secara tiba-tiba.
Walaupun mungkin terkesan kecil, aksi ini memberi sinyal kepada pasar bahwa
pelemahan ekonomi China ternyata jauh lebih serius dari yang kita duga
selama ini.
Saat ini Indonesia juga masih banyak
lakukan impor sehingga pasokan dolar AS di dalam negeri dibawa ke luar
Indonesia. Sehingga pasokan di pasar keuangan valuta asing(valas) Indonesia
menjadi tipisekali.
Upaya yang dapat dilakukan agar
nilai Dollar kembali stabil :
Jangan terlalu tergantung pada
impor. Kita harus bisa ekspor. Jangan mengandalkan eskpor bahan mentah saja.
Itu tidak memberi nilai dampak ekonomi. Kita harus bisa buat bahan mentah jadi
barang jadi baru diekspor, supaya transaksi keuangan di dalam negeri lebih
baik. Sehingga Indonesia bisa siap-siap menghadapi gejolak ekonomi dunia.
Bank Indonesia harus berkoordinasi
dengan pemerintah pusat dan daerah. Otoritas moneter harus bekerjasama dengan
fiskal dan riil. BI keluarkan kebijakan moneter yang tepat,”
Kita harus meyakinkan, kalau pun
impor lebih besar dari ekspor tidak lebih dari dua setengah dari besaran
ekonomi negara kita. Indonesia harus menjaga kondisi pasar valuta asing supaya
gerakannya tidak menakutkan dan selalu menjaga cadangan devisa.
BI juga harus menjaga agar utang dunia
usaha terjaga,” BI juga harus keluarkan kebijakan mewajibkan masyarakat
Indonesia gunakan rupiah untuk transaksi di dalam negeri, tidak boleh lagi
menggunakan dolar AS.
Sumber:
Http://Kompas.com
Http://Wikipedia.com
Http://Bi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar