Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang
ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai "online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan
mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari
perkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang telah memiliki
banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan Cyber Law di Indonesia maka kita
akan membahas secara ringkas tentang landasan fundamental yang ada didalam aspek
yuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai sebuah rezim hukum khusus, dimana
terdapat komponen utama yang menliputi persoalan yang ada dalam dunia maya tersebut,
yaitu :
· Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini
menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan
diterapkan di dalam dunia maya itu;
· Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk
melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung
jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab
dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet
provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan
melalui jaringan internet;
· Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang
patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia
cyber;
· Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum
yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang
mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;
· Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap
pengguna internet;
· Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek
kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat
dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi;
· Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas maka kita akan dapat melakukan penilaian
untuk menjustifikasi sejauh mana perkembangan dari hukum yang mengatur sistem dan
mekanisme internet di Indonesia.
Perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat tinggi serta
memiliki jumlah pelanggan atau pihak pengguna jaringan internet yang terus meningkat
sejak paruh tahun 90'an. Salah satu indikator untuk melihat bagaimana aplikasi hukum
tentang internet diperlukan di Indonesia adalah dengan melihat banyaknya perusahaan
yang menjadi provider untuk pengguna jasa internet di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
yang memberikan jasa provider di Indonesia sadar atau tidak merupakan pihak yang
berperanan sangat penting dalam memajukan perkembangan cyber law di Indonesia
dimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan seperti :
· Perjanjian aplikasi rekening pelanggan internet;
· Perjanjian pembuatan desain home page komersial;
· Perjanjian reseller penempatan data-data di internet server;
· Penawaran-penawaran penjualan produk-produk komersial melalui
internet;
· Pemberian informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;
· Pemberian pendapat atau polling online melalui internet.
Merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang
berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu ada
baiknya didalam perkembangan selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau pengguna
internet dapat terjamin maka hukum tentang internet perlu dikembangkan serta dikaji
sebagai sebuah hukum yang memiliki displin tersendiri di Indonesia
Definisi dan Jenis Kejahatan Dunia Cyber
Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga
menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi
tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.
Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin
kompleks karena ruang lingkupnya yang luas.
Kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace
ataupun kepemilikan pribadi.
Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi
menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan dengan motif
intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan
untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan dengan motif politik, ekonomi atau
kriminal yang berpotensi menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Versi lain
membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan
penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.
Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata
dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:
a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk
pencurian waktu operasi komputer.
b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.
c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data
atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, menjadikan tidak
terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.
d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang
harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara,
perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.
e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara
tidak sah, mengubah input data atau output data.
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi
HAKI.
Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah
penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain
atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12).
Pola umum yang digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah memperoleh
akses terhadap account user dan kemudian menggunakan sistem milik korban sebagai
platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat diselesaikan dalam waktu 45 detik dan
mengotomatisasi akan sangat mengurangi waktu yang diperlukan (Purbo, dan Wijahirto,
2000: 9).
Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda
dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas
teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.
Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan
internet hampir pasti akan terkena imbas perkembangan cybercrime ini.
Berita Kompas Cyber Media (19/3/2002) menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen
2001 Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di
Asia dalam tindak kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci kejahatan
macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan
tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai kejahatan
yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi informasi (Heru Sutadi,
Kompas, 12 April 2002, 30).
Menurut RM. Roy Suryo dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12, kasus-kasus
cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan
modusnya, yaitu:
1. Pencurian Nomor Kartu Kredit.
Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid Informatika KADIN), penyalahgunaan kartu
kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang
berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia.
Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan
secara fisik atau on-line. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di
berbagai tempat (restaurant, hotel atau segala tempat yang melakukan transaksi
pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di
internet.
2. Memasuki, memodifikasi atau merusak homepage (hacking)
Menurut John. S. Tumiwa pada umum nya tindakan hacker Indonesia belum separah
aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs
komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada
pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem
perbankan dan merusak data base bank.
3. Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming.
Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut
RM. Roy Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang
cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang
ada belum menjangkaunya.
Sementara itu As’ad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering terjadi di
Indonesia menjadi lima, yaitu:
a. Pencurian nomor kartu kredit.
b. Pengambilalihan situs web milik orang lain.
c. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.
d. Kejahatan nama domain.
e. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.
Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan sebagai
segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain dalam perdagangan
melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa modus baru seperti jual-beli
data konsumen dan penyajian informasi yang tidak benar dalam situs bisnis mulai sering
terjadi dalam e-commerce ini.
Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara garis besar ada
lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
a. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan
integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah
kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
b. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman
barang melalui internet.
c. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi
pengguna maupun penyedia content.
d. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang
dialirkan melalui internet.
e. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui
internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi
hukum.
Saat ini di Indonesia sudah dibuat naskah rancangan undang-undang cyberlaw yang
dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Departemen Perdagangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung bekerja
sama dengan Departemen Pos dan telekomunikasi.
Hingga saat ini naskah RUU Cyberlaw tersebut belum disahkan sementara kasus-kasus
hukum yang berkaitan dengan kriminalitas di internet terus bermunculan mulai dari
pembajakan kartu kredit, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi, perusakan web
site sampai dengan pencurian data. Kasus yang terkenal diantaranya adalah kasus klik
BCA dan kasus bobolnya situs KPU.
Saat ini regulasi yang dipergunakan sebagai dasar hukum atas kasus-kasus cybercrime
adalah Undang-undang Telekomunikasi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Namun demikian, interpretasi yang dilakukan atas pasal-pasal KUHP dalam
kasus cybercrime terkadang kurang tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu urgensi
pengesahan RUU Cyberlaw perlu diprioritaskan untuk menghadapi era cyberspace
dengan segala konsekuensi yang menyertainya termasuk maraknya cybercrime
belakangan ini.
Sekilas Tentang Dunia Hacker Di Indonesia
Istilah hacker biasa dipakai untuk menyebut seseorang yang memiliki keahlian khusus di
bidang komputer. Seorang hacker mampu berpikir dan bekerja dengan efektif dan efisien
dan sering kali menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan metode yang out of
the box, di luar pemikiran yang biasa digunakan orang.
Lama-kelamaan arti dari istilah ini menyempit menjadi seseorang yang memiliki
kemampuan lebih di bidang keamanan jaringan komputer dan memanfaatkan
kemampuannya untuk mendapatkan akses secara ilegal ke dalam sistem komputer orang
lain. Jika tindakan yang dilakukan bersifat destruktif, merugikan pihak lain, istilah yang
lebih tepat untuk menyebut orang seperti itu adalah cracker.
Komunitas hacker di Indonesia kebanyakan terdiri dari siswa dan mahasiswa yang
memiliki ketertarikan di bidang keamanan jaringan komputer. Kelompok ini memiliki
banyak waktu luang untuk mencari informasi mengenai bagaimana cara-cara yang bisa
dipakai untuk memanfaatkan kelemahan yang ada pada jaringan komputer milik orang
lain.
Informasi seperti ini banyak tersedia di Internet. Kadang-kadang cara yang biasa dipakai
untuk masuk ini sudah disediakan dalam bentuk script yang tinggal diambil dan
dijalankan, layaknya menjalankan aplikasi komputer biasa. Orang-orang yang masuk ke
dalam kelompok ini sering disebut sebagai script kiddies (sebuah istilah yang
menggambarkan bahwa anak kecil pun bisa melakukannya). Apa yang mereka butuhkan
hanyalah informasi awal mengenai produk perangkat lunak apa dan versi berapa yang
dipakai di server yang akan mereka bobol.
Komunitas hacker biasanya berkumpul secara virtual dalam chatroom di Internet.
Berdiskusi mengenai hal-hal terkini dalam urusan keamanan dalam sistem komputer.
Komunitas ini berkembang, anggotanya pun bertambah, kadang bisa juga berkurang.
Anggotanya biasanya bertambah dari orang- orang yang ingin menjajal kemampuan
mereka dalam hal ini.
Apalagi dengan kondisi usia yang sangat muda, mereka masih memiliki ego dan rasa
ingin terkenal yang cukup besar. Mereka suka sekali dengan publikasi gratis dari media
massa atas "hasil karya" mereka jika mereka berhasil menembus atau mengubah tampilan
halaman sebuah situs di Internet.
Lain halnya ketika mereka sudah selesai menyalurkan ego gairah muda mereka. Mereka
kemudian pensiun. Mereka yang sudah keluar dari komunitas ini biasanya mendapatkan
pekerjaan sebagai system administrator jaringan komputer di perusahaan-perusahaan.
Beberapa orang yang dianggap cukup pandai beralih menjadi konsultan keamanan sistem
dan jaringan komputer dengan bekal intuisi membobol sistem keamanan komputer yang
dulu pernah mereka lakukan.
Merumuskan serangan
Seperti disebutkan tadi, gairah muda, ego, dan rasa ingin terkenal yang besar membuat
mereka suka sekali diberi tantangan, bahkan acapkali mencari sendiri tantangan tersebut.
Ini yang menyebabkan fenomena cracker menjadi fenomena kambuhan, tidak seperti
fenomena spam atau worm virus yang kontinu sepanjang waktu.
Jika mereka ingin memasuki sistem milik orang lain, yang pertama mereka lakukan
adalah dengan melakukan scanning (pemindaian, lihat Poin 1 pada grafik) terhadap
sistem komputer yang mereka incar. Dengan ini mereka mendapatkan gambaran kasar
mengenai sistem operasi dan aplikasi dari server sasaran. Alat yang dipakai cukup
sederhana, contohnya Nmap (http://insecure.org/nmap/). Berbekal firewall yang tidak
terlalu kompleks, maka tindakan scanning ini dapat diketahui oleh administrator jaringan,
dan tercatat pada log firewall.
Ketika mereka sudah mengetahui sistem operasi dan aplikasi dari server tadi, mereka
dapat merumuskan tipe serangan yang akan dilakukan (Poin 1). Dalam kasus pembobolan
situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), mereka mengetahui bahwa situs KPU
menggunakan teknologi Microsoft Windows Server dengan web server IIS (Internet
Information System) serta halaman web yang menggunakan teknologi ASP (Active
Server Pages).
Nyaris tidak ada satu pun sistem yang bisa dijamin 100 persen aman, tidak memiliki
kelemahan. Apalagi ketika sistem tersebut berhadapan langsung dengan akses publik,
dalam hal ini Internet. Itulah kunci awalnya. Ditunjang oleh era informasi berupa fasilitas
Internet yang menampung informasi dalam jumlah tak terhingga, siapa pun yang rajin
dan telaten, mau meluangkan waktu, dipastikan akan mendapatkan informasi apa yang
dia butuhkan.
Tidak cukup sampai disitu saja karena mereka masih harus mereka-reka struktur data
seperti apa yang harus mereka ubah agar proses perubahan tertulis dengan normal. Proses
mereka-reka ini bisa jadi membutuhkan waktu berhari-hari, sebelum seseorang berhasil
mengetahui struktur seperti apa yang harus dimasukkan agar perubahan data berhasil.
Biasanya pula, seorang cracker yang akan melakukan serangan ini tidak terlalu bodoh. Ia
harus melakukan serangan yang berhasil dalam satu tembakan dan tembakan itu haruslah
dilakukan dari tempat lain, bukan di tempat ia mengeksekusi, agar ia tidak mudah dikejar.
Maka yang dia lakukan adalah mencari sebuah server perantara yang cukup jauh secara
geografis (Poin 2) darinya, untuk melakukan serangan. Ketika server ini berhasil diakses
(untuk kasus KPU, server perantara yang dipakai berada di Thailand), maka saatnya ia
melakukan serangan.
Ketika serangan terjadi, maka serangan ini berhasil mengubah tampilan situs (Poin 3). .
Nama-nama partai berubah menjadi nama yang aneh-aneh. Untunglah administrator
Teknologi Informasi (TI) KPU cukup sigap dengan melakukan proses pembersihan pada
server yang diserang.
Selain halaman web yang diserang, diperbaiki strukturnya (Poin 4), firewall juga
dikonfigurasi untuk menahan serangan sejenis ini (Poin 5) untuk sementara waktu.
Serangan ini tercatat pula pada log (Point 6), yang memungkinkan administrator segera
mengetahui dari mana serangan ini dilancarkan.
Berbekal log
Dalam "pertempuran digital" ini, senjata yang dimiliki oleh pihak yang bertahan adalah
file log (catatan terhadap semua aktivitas yang terjadi di server). Log dari web server, log
dari firewall, serta log dari IDS (Intrusion Detection System). Berbekal log ini, pencarian
identitas sang penyerang dimulai.
Log file mencatat koneksi yang berhasil diterima atau ditolak server ataupun firewall.
Log ini berisi alamat IP (Internet Protocol, alamat komputer) yang tersambung, serta
waktu sambungan terjadi (Poin 7). Alamat IP di Internet berfungsi seperti alamat rumah,
bersifat unik, tidak ada alamat yang sama di dunia Internet.
Dengan berbekal utilitas seperti traceroute dan whois, dengan cepat diketahui lokasi
komputer tersebut dan siapa pemilik alamat IP tersebut (Poin 8), lengkap dengan contact
person ISP di mana komputer tadi berada. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah
komunikasi dan koordinasi verbal dengan contact person tersebut (Poin 9).
Proses selanjutnya adalah identifikasi personal pelaku. Dengan bekal nama alias pelaku
yang berhasil ditelusuri, didukung dengan adanya sistem data basis kependudukan
Indonesia yang baru saja dihasilkan oleh KPU (dalam rangka pendaftaran pemilih pada
Pemilu 2004), diperoleh informasi lengkap berupa tempat dan tanggal lahir serta alamat
terkini tersangka.
Dengan bekal data ini beserta log kejadian pembobolan, tim TI KPU menyerahkan data
ini kepada Satuan Khusus Cybercrime Polda Metro Jaya untuk diproses lebih lanjut.
Cerita selanjutnya sudah dapat diketahui pada media massa. Dalam hitungan hari,
tersangka dapat ditangkap.
Perlunya Pendekatan Hukum
Aktivitas komunitas cracker ini sebenarnya hanyalah penyaluran adrenalin biasa, yang
sayangnya sudah mulai masuk ruang publik dan dirasa mengganggu. Keahlian teknis
yang mereka miliki pun sebenarnya tidak terlalu tinggi, yang dapat dipelajari dengan
waktu luang yang cukup dan akses ke Internet. Mereka hanya kekurangan tempat
praktikum untuk membuktikan ilmu yang mereka pelajari sehingga mereka mulai masuk
ke ruang publik.
Sayang sekali, ketiadaan hukum membuat aktivitas mereka seakan-akan legal, padahal
tidak. Coba dipikirkan, apakah Anda rela seseorang masuk ke rumah Anda dan
mengacak-acak isi rumah, lalu dengan bebas keluar lagi tanpa ada yang bisa mengambil
tindakan.
Parahnya, justru Anda yang disalahkan karena tidak mampu menjaga rumah dengan baik.
Dalam kasus situs KPU, tindakan iseng yang dilakukan bukan hanya berakibat buruk
kepada KPU, tetapi juga kepada seluruh bangsa Indonesia yang sedang melakukan
hajatan besar, pemilihan umum. Untuk hal inilah sang cracker situs KPU harus dihukum
seberat-beratnya karena kegiatan yang dilakukan berdampak besar kepada seluruh bangsa
Indonesia. Kepada bangsa Indonesia-lah ia harus bertanggung jawab, bukan kepada KPU.
Tindakan Satuan Cybercrime Krimsus Polda Metro Jaya dalam merespons kasus ini
betul-betul patut diberi acungan jempol karena mereka membuktikan komitmen mereka
untuk aktif membasmi kejahatan kerah putih yang berkedok "orang iseng" dan
"penyaluran adrenalin" yang nyatanya berdampak luas, mulai dari deface situs Internet
sampai dengan kejahatan carding.
Untuk itulah komunitas TI seharusnya mendukung langkah Satuan Cybercrime untuk
mulai membasmi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini, bukannya malah
memberikan "dukungan moril" dengan melakukan promosi di media bahwa meng-hack
itu mudah, meng-hack itu heroik, sistem tidak aman dan lainnya yang secara tidak
langsung malah menantang komunitas cracker untuk melakukan hal-hal yang negatif.
Asas Hukum Untuk Dunia Cyber
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama
adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi
sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat
mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum
dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan
hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional,
dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the
jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to
enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang
biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa
keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan
penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. Kedua, objective
territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara
mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan
pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan
kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya
hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila
korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak
untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan
untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses,
namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas
wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi
oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan
antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana
pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional,
beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace
diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law
of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma
yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional,
antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam menentukan
kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata
internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the
principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan
untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of
effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di
mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan
berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement
enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam
transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada
jaminan pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional. .
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat
dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Pertama The Theory of the Uploader
and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam
wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat
bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap
orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam
wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading
kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang
menggunakan jurisdiksi ini.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di
mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford
University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan
apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing.
Ketiga The Theory of International
Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah
tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni
sovereignless quality.
Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime) merupakan
sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern mengingat
kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai subjek
Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat
lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah
menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum
Internasional baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam
mengatasi kasus-kasus Cybercrime.
Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang
saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber
(Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini
meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam
perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun
di dunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23
November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati
Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty
Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah
diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang
dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi
mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal
policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui
undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin
meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan
dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk
melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan
antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari
perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan
adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan
pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk
meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan
perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses
penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu
mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu
kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan
dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan
perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup
kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang
terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk
dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber,
tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
Kasus Indonesia
Untuk Indonesia, regulasi hukum cyber menjadi bagian penting dalam sistem hukum
positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu segera
menuntaskan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU
ITE) untuk dijadikan hukum positif, mengingat aktivitas penggunaan dan
pelanggarannya telah demikian tinggi. Regulasi ini merupakan hal yang sangat
ditunggu-tunggu masyarakat demi terciptanya kepastian hukum. RUU ITE sendiri
dalam hal materi dan muatannya telah dapat menjawab persoalan kepastian hukum
menyangkut tindak pidana carding, hacking dan cracking, dalam sebuah bab tentang
perbuatan yang dilarang dimuat ketentuan yang terkait dengan penyalahgunaan
teknologi informasi, yang diikuti dengan sanksi pidananya. Demikian juga tindak
pidana dalam RUU ITE ini diformulasikan dalam bentuk delik formil, sehingga tanpa
adanya laporan kerugian dari korban aparat sudah dapat melakukan tindakan hukum.
Hal ini berbeda dengan delik materil yang perlu terlebih dulu adanya unsur kerugian
dari korban.
RUU ITE merupakan satu upaya penting dalam setidaknya dua hal, pertama :
pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum
perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat
terjamin. Kedua: Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk
untuk tindakan carding, hacking dan cracking.
Untuk selanjutnya setelah RUU ITE diundangkan, pemerintah perlu pula untuk
memulai penyusunan regulasi terkait dengan tindak pidana cyber (Cyber Crime),
mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam RUU ITE tetapi
dicakup dalam instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana cyber, misalnya
menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, dan perjudian maya. Untuk hal
yang terakhir ini perlu untuk mengkaji lebih jauh Convention on Cyber Crime 2000,
sebagai instrumen tindak pidana cyber internasional, sehingga regulasi yang dibuat
akan sejalan dengan kaidah-kaidah internasional, atau lebih jauh akan merupakan
implementasi (implementing legislation) dari konvensi yang saat ini mendapat
perhatian begitu besar dari masyarakat internasional.
Aspek Hukum Yang Terkait Dengan Aplikasi Teknologi Informasi
Informasi Elektronik Belum Serupa Dengan Surat
Rekaman elektronik audiovisual dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Sayangnya,
sering hakim memposisikan hasil cetak informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali
jika dibuat oleh dan/atau dicetak di hadapan pejabat yang berwenang.
Baru-baru ini pemerhati hukum mempertanyakan kembali kedudukan informasi
elektronik dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam praktek hukum acara pidana,
terutama penerapannya pada kasus Tempo dan TI-KPU. Satu hal yang cukup
memprihatinkan adalah masih banyak ahli hukum yang berasumsi bahwa keberadaan
informasi elektronik kurang bernilai secara hukum hanya karena sifatnya yang rentan
akan perubahan. Asumsi ini tidak salah, tetapi kurang pas penerapannya. Dengan alasan
bentuknya yang elektronik, kehadirannya di persidangan sering diabaikan dan tak
digali lebih lanjut oleh para hakim untuk dijadikan petunjuk. Padahal, mestinya hakim
wajib menggali lebih lanjut, mencari kesesuaian dengan informasi yang diperoleh dari
surat, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa. Bahkan, sesuai perkembangan zaman,
hakim diharapkan cukup tahu dan mengikuti perkembangan teknologi yang ada atau
paling tidak dapat menggalinya dengan baik dari keterangan ahli.
Selain itu, masih sering terjadi salah paham tentang bagaimana memperlakukan
keberadaan informasi dengan medianya. Kehadiran informasi memang tak lepas dari
suatu media, dan setiap media tentu punya karakter dan keunikan tersendiri. Oleh
karena itu, sepatutnya hakim memperhatikan bagaimana mekanisme informasi itu
dilekatkan (fiksasi) pada suatu media, baik pada kertas (cetak) maupun media elektronik
(analog maupun digital).
Mekanisme pembuktian dalam bentuk rekaman suara biasa dengan digital memang
berbeda. Dalam mekanisme analog konvensional, penyimpanan data tidak mempunyai
metadata (data yang menerangkan data itu sendiri) sebagaimana lazimnya dilakukan
dalam dunia digital. Walau keduanya tetap memerlukan keterangan ahli untuk
meyakinkan validitasnya, rekaman suara konvensional relatif lebih sulit mekanismenya
karena tergantung pada subjektivitas keterangan ahli forensik.
Agar keterangan ahli forensik terjamin objektivitas dan validitasnya, maka alat-alat
yang digunakan dalam memeriksa harus tersertifikasi. Bagaimana mungkin
menganalisis suara seseorang hanya dengan mengandalkan aplikasi umum multimedia
tanpa standarisasi dan jaminan produk yang baik (tak ada garansi fitness for particular
purpose). Oleh karena itu, ahli forensik harus menggunakan aplikasi khusus dengan
standarisasi yang jelas, ia harus mengetahui dan dapat menerangkan bagaimana alatalatnya
itu bekerja, sehingga sampai pada suatu keterangan yang berguna bagi hukum.
Sebagian ahli hukum menyatakan bahwa informasi elektronik hanya dapat
dikategorikan sebagai barang bukti dan/atau paling jauh sebagai alat bukti petunjuk.
Hal ini tak sepenuhnya tepat. Informasi berupa rekaman elektronik audiovisual (foto,
rekaman suara, dan video) memang dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Namun,
informasi elektronik tekstual sebenarnya hampir identik dengan keberadaan surat,
hanya medianya belum dikertaskan. Sayangnya, sering hakim memposisikan hasil cetak
informasi elektronik bukan sebagai surat, kecuali jika ia dibuat oleh dan/atau dicetak di
hadapan pejabat yang berwenang.
Ironisnya, penjelasan Pasal 41 KUHAP menyatakan bahwa yang termasuk "surat"
adalah surat kawat, surat teleks, dan sejenisnya, yang mengandung suatu berita.
Padahal jelas-jelas berita dalam surat kawat atau teleks sebenarnya bentuk asalnya
adalah pesan elektronik yang disampaikan secara elektronik pula, yang kemudian
dikertaskan.
Sungguh suatu "mekanisme hukum yang inkonsisten" jika informasi elektronik dikenal
sebagai surat untuk kepentingan proses penyitaan oleh para penyidik, sementara ia tak
dapat dikenal sebagai surat dalam proses pemeriksaan atau pembuktian berdasarkan
Pasal 184 KUHAP oleh para hakim. Oleh karena itu, mestinya objektif pemikiran
hukumnya adalah diarahkan pada bagaimana menerima kehadiran informasi elektronik
itu sebagaimana layaknya surat, terlepas apakah ia telah dicetak atau belum. Jelas,
sejak dari bentuk elektroniknya ia harus telah bernilai secara hukum, tetapi baru dapat
menjadi alat bukti jika telah terjamin validitasnya.
Sebenarnya kehadiran informasi selain kertas (elektronik) cukup lama dikenal dalam
sistem hukum nasional. Paling tidak ia diakui sebagai "arsip" berdasarkan UU No.
7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. Selanjutnya, informasi elektronik juga
dikenal sebagai "dokumen perusahaan" berdasarkan UU No. 8/1997 tentang
Dokumentasi Perusahaan.
Kesaksian Palsu
Dalam perkembangannya, keberadaan informasi elektronik diakui sebagai "alat bukti
lain" selain 184 KUHAP berdasarkan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pasal 27 UU No. 16/2003 jo UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dan Pasal 26 (a) UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU
No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ringkasnya, ia
dikatakan sebagai alat bukti baru yang merupakan pelengkap dari alat-alat bukti yang
telah dikenal dalam Pasal 184 KUHAP (surat, petunjuk, keterangan saksi, keterangan
ahli, dan keterangan terdakwa) dan bukan merupakan bagian dari kategorisasi alat bukti
yang telah dikenal itu. Tampaknya, pemikiran ini cenderung keliru.
Sebagai konsekuensinya, timbul dua pendapat. Satu pendapat yang menyatakan bahwa
informasi elektronik hanya layak diterima dalam lingkup pembuktian tindak pidana
tertentu saja, sebagaimana disebutkan secara jelas dalam UU Terorisme, UU Pencucian
Uang, dan UU Korupsi. Pendapat lain yang menyatakan bahwa seharusnya ia juga dapat
diterima di pengadilan untuk semua tindak pidana di luar itu. Paling tidak, semestinya
ia juga dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk atau bahkan surat, sepanjang ia
dapat diyakini validitas isinya oleh hakim.
Penjelasan Pasal 3 PP No. 8/1999 menyatakan bahwa suatu dokumen yang bentuk
aslinya adalah elektronik tak perlu di-hardcopy-kan terlebih dahulu untuk mempunyai
kekuatan pembuktian. Sekilas ini dirasa cukup baik. Namun, jika hakim langsung
percaya kepada suatu informasi elektronik tanpa harus melihat validitasnya, ketentuan
ini jelas akan sangat membahayakan.
Dalam sudut pandang hukum informasi dan komunikasi, suatu proses pemeriksaan
dan/atau pembuktian sebenarnya hanyalah mekanisme hukum untuk membuat jelas suatu
perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Objektifnya adalah forum untuk
menghadirkan semua informasi yang terkait dengan hal itu dalam semua media
sepanjang hal itu valid. Di sini hakim seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk
tidak terkunci kepada penamaan media penyimpan informasi itu sendiri secara
konvensional (kertas), melainkan harus melihat dan memperhatikan sejauh mana
keunikan setiap media itu, sehingga ia akan memperoleh informasi untuk mendapat
keyakinannya.
Majelis hakim tak boleh hanyut oleh pemikiran yang menyatakan bahwa Pasal 184
KUHAP bersifat limitatif (artinya, alat bukti yang dikenal hanya ada 5), di luar itu tak
ada lagi kecuali untuk tindak pidana tertentu. Oleh karena kepentingan hukum dalam
proses pembuktian menghendaki fleksibilitas, sepatutnya hakim berprinsip, seharusnya
semua informasi dapat dihadirkan dan/atau diterima di pengadilan sepanjang informasi
itu relevan dengan kasus dan terjamin validitasnya, serta diperoleh dengan cara-cara
yang sesuai hukum.
Prinsip ini dianut oleh negara maju, meski dalam penerapannya mereka juga membuat
prosedur-prosedur khusus untuk itu dengan pemikiran real evidence, hearsay
evidence, derived evidence, dan sebagainya. Hakim harus jeli melihat bahwa memang
tak semua informasi langsung dipercaya validitasnya, tetapi juga jangan langsung
menampiknya sebagai sesuatu yang bernilai secara hukum.
Dari semua pemikiran itu, patut dipertanyakan bagaimana mekanisme penerimaannya
di pengadilan. Hakim perlu punya pedoman bagaimana ia memeriksa validitas
informasi elektronik agar jangan sampai suatu informasi yang tak terjamin keutuhannya
akan mengakibatkan terpidananya seseorang. Meski hal itu harus terjawab
berdasarkan kecerdasan hakim dalam menggali alat bukti, petunjuk yang sekarang ini
tak begitu digali oleh hakim yang terkesan sangat pasif dan berlindung di balik
"kejelasan kata-kata" dalam UU. Bukankah jika dirasakan kurang jelas, justru hakim
yang harus membuatnya jelas bagi masyarakat?
Pada sisi yang lain, hakim juga harus memberikan sanksi kepada orang yang jelas-jelas
menampik keterkaitannya dengan suatu informasi yang dihadirkan ke pengadilan,
sekiranya ternyata secara teknologi memang benar orang itu terkait. Paling tidak ia telah
memberikan keterangan palsu dan semestinya dikenai pidana. Misalnya, ada seseorang
yang menyatakan bahwa keberadaan suara pada alat rekam dikatakan bukan
merupakan suaranya, dan/atau menampik pesan elektronik yang telah dikirimkannya.
Jika ternyata dapat dibuktikan oleh ahli forensik bahwa memang itu merupakan
suaranya dan/atau pesannya, maka berarti ia telah berbohong tidak hanya kepada majelis
hakim, tetapi juga kepada publik. Akan lebih baik jika ia juga dikenai pasal untuk tindak
pidana lain selain kesaksian palsu, seperti penipuan, menyebarkan kebohongan, atau
bahkan menghina pengadilan.
Sehubungan dengan kebutuhan itu, hakim perlu suatu ketentuan hukum yang dapat
menjadi pedoman bagaimana prosedur-prosedur dalam melihat validitas informasi
elektronik. Informasi "yang layak dipercaya" adalah yang berasal dari "sistem yang
layak dipercaya" karena sistem telah terjaga dan terjamin berjalan sebagaimana
mestinya, kecuali didapat bukti lain. Untuk memahami hal tersebut, hakim perlu
mempelajari pola pemikiran dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang
tengah dibahas di DPR.
Alat-Alat Bukti
Alat-alat bukti yang dikenal dalam Pasal 26 (a) UU 20/2001 tentang perubahan atas
UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 27 UU No.
16/2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2002 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi
UU, dan Pasal 38 UU No. 15/2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah:
1. Alat-alat bukti dalam KUHAP,
2. Alat bukti lain yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
3. Dokumen yang mencakup data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat dibaca
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara atau gambar
(b) peta, rancangan, foto atau sejenisnya (c) huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Semua ketentuan itu dapat dikatakan sebagai lex generalis dari KUHP karena keberadaan
Pasal 284 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah
UU ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan UU ini
dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada UU tertentu sampai ada perubahan dan/atau dinyatakan tidak
berlaku lagi.
URGENSl CYBER LAW BAGI INDONESIA
Implikasi Perkembangan Dunia Cyber
Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu
agenda penting masyarakat dunia di milenium ketiga antara lain ditandai dengan
pemanfaatan Internet yang semakin meluas dalam berbagai akiivitas kehidupan manusia,
bukan saja di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan ”informasi” sebagai
komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan. Untuk merespon
perkembangan ini Amerika Serikat sebagai pioner dalam pemanfaatan Internet telah
mengubah paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi
ekonomi yang berbasis jasa (from a manufacturing-based economy to a service-based
economy)
Peruhahan ini ditandai dengan berkurangnya peranan traditional law materials dan
semakin meningkatnya peranan the raw marerial of a service-based economy yakni
informasi dalam perekonomian Amerika.
Munculnya sejumlah kasus yang cukup fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1998
telah mendorong para pengamat dan pakar di bidang teknologi inlormasi untuk
menobatkan tahun tersebut sebagai moment yang mengukuhkan Internet sebagai salah
satu institusi dalam mainstream budaya Ametika saat ini. Salah satu kasus yang sangat
fenomenal dan kontroversial adalah ”Monicagate” (September 1998) yaitu skandal
seksual yang melibatkan Presiden Bill Clinton dengari Monica Lewinsky mantan
pegawai Magang di Gedung Putih.
Masyarakat dunia geger, karena laporan Jaksa Independent Kenneth Star mengenai
perselingkuhan Clinton dan Monica setebal 500 halaman kemudian muncul di Internet
dan dapat diakses secara terbuka oleh publik. Kasus ini bukan saja telah menyadarkan
masyarakat Amerika, tapi juga dunia bahwa lnternet dalam tahap tertentu tidak ubahnya
bagai pedang bermata dua.
Eksistensi Internet sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Amerika lebih
ditegaskan lagi dengan maraknya perdagangan electronik (E-Commerce) yang
diprediksikan sebagai ”bisnis besar masa depan” (the next big thing). Menurut perkiraan
Departemen Perdagangan Amerika, nilai perdagangan sektor ini sampai dengan tahun
2002 akan mencapai jumlah US $300 milyar per tahun.
Demam E-Commerce ini bukan saja telah melanda negara-negara maju seperti Amerika
dan negara-negara Eropa, tapi juga telah menjadi trend dunia termasuk Indonesia.
Bahkan ada semacam kecenderungan umum di Indonesia, seakan-akan ”cyber law” itu
identik dengan pengaturan mengenai E-Commerce. Berbeda dengan Monicagate,
fenomena E-Commerce ini boleh dikatakan mampu menghadirkan sisi prospektif dari
Internet.
Jelaslah bahwa eksistensi Internet disamping menjanjikan sejumlah harapan, pada saat
yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lain munculnya kejahatan
baru yang lebih canggih dalam bentuk ”cyber crime”, misalnya munculnya situs-situs
porno dan penyerangan terhadap privacy seseorang. Disamping itu mengingat
karakteristik Internet yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya
beroperasi secara virtual (maya), Internet juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang
tidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing law).
Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur
mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan Internet
Atas dasar pemikiran diatas, penulis akan mencoba untuk membahas mengenai
pengertian ”cyber law” dan ruang lingkupnya serta sampai sejauh mana urgensinya bagi
Indonesia untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan hukum akibat
pemanfaatan Internet yang semakin meluas di Indonesia.
Cyberspace.
Untuk sampai pada pembahasan mengenai ”cyber law”, terlebih dahulu perlu dijelaskan
satu istilah yang sangat erat kaitannya dengan ”cyber law” yaitu ”cyberspace” (ruang
maya), karena ”cyberspace”-lah yang akan menjadi objek atau concern dari ”cyber law”.
Istilah ”cyberspace” untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh William Gibson seorang
penulis fiksi ilmiah (science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilah
yang sama kemudian diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light.
Menurut Gibson, cyberspace ”... was a consensual hallucination that felt and looked like
a physical space but actually was a computer-generated construct representing abstract
data”. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan komputer
istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang elektronik (electronic
space), yaitu sebuah masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi yang terjalin
dalam sebuah jaringan kornputer (interconnected computer networks).’ Pada saat ini,
cyberspace sebagaimana dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah:”... represents a
vast array of computer systems accessible from remote physical locations”.
Aktivitas yang potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara
pasti mengingat kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat dan mungkin sulit
diprediksi. Namun, saat ini ada beberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan di
cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bullelin Board System, Conferencing
Systems, Internet Relay Chat, Usenet, EmaiI list, dan entertainment. Sejumlah aktivitas
tersebut saat ini dengan mudah dapat dipahami oleh masyarakat kebanyakan sebagai
aktivitas yang dilakukan lewat Internet. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa apa
yang disebut dengan ”cyberspace” itu tidak lain. adalah Internet yang juga sering disebut
scbagai ”a network of net works”. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga
yang menyebut ”cyber space” dengan istilah ”virtual community” (masyarakat maya)
atau ”virtual world” (dunia maya).
Untuk keperluan penulisan artikel ini selanjutnya cyberspace akan disebut dengan
Internet. Dengan asumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia
dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat (manusia) yang ada di ”physical word”
(dunia nyata), maka kemudian muncul pemikiran mengenai perlunya aturan hukum untuk
mengatur aktivitas tersebut. Namun, mengingat karakteristik aktivitas di Internet yang
berbeda dengan di dunia nyata, lalu muncul pro kontra mengenai bisa dan tidaknya
sistem hukum tradisional/konvensional (the existing law) yang mengatur aktivitas
tersebut. Dengan demikian, polemik ini sebenarnya bukan mengenai perlu atau tidaknya
suatu aturan hukum mengenai aktivitas di Internet, melainkan mempertanyakan eksistensi
sistem hukum tradisional dalam mengatur aktivitas di Internet.
Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet
Secara umum munculnya pro-kontra bisa atau ticlaknya sistem hukum tradisional
mengatur mengenai aktivitas-aktivitas di Internet disebabkan karena dua hal yaitu; (1)
karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga tidak lagi tunduk
pada batasan-batasan teritorial, dan (2) sistem hukum traditional (the existing law) yang
justru bertumpu pada batasan-batasan teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk
menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet. Prokontra
mengenai masalah ini sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi
aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum
tradisional/konvensional.
Istilah ”sistem hukum tradisional/konvensional” penulis gunakan untuk menunjuk kepada
sistem hukum yang berlaku saat ini yang belum mempertimbangkan pengaruh-pengaruh
dari pemanfaatan Internet.
Mereka beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah ”surga demokrasi” (democratic
paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalu-lintas ide secara bebas dan terbuka
tidak boleh dihambat dengan aturan yang didasarkan atas sistem hukum tradisional yang
bertumpu pada batasan-batasan territorial. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut
kelompok ini Internet harus diatur sepenuhnya oleh system hukum baru yang didasarkan
atas norma-norma hukum yang baru pula yang dianggap sesuai dengan karakteristik.yang
melekat pada Internet. Kelemahan utama dari kelompok ini adalah mereka menafikkan
fakta, bahwa meskipun aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun
masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (physical
world).
Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional
untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Tanpa
harus menunggu akhir dari suatu perdebatan akademis mengenai sistem hukum yang
paling pas untuk mengatur aktivitas di Internel. Pertimbangan pragmatis yang didasarkan
atas meluasnya dampak yang ditimbulkan oleh Internet memaksa pemerintah untuk
segera membentuk aturan hukum mengenai hal tersebut. Untuk itu semua yang paling
mungkin adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama yaitu
mereka menafikkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di Internet menyajikan realitas dan
persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak
sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka
berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur tnengenai aktivitas di Internet
harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip ”common law”
yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek-aspek tertentu
dalam aktivitas ”cyberspace” yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi- transaksi di
Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena
memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan
hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping juga fakta bahwa beberapa transaksi
di Internet tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum tradisional. Penulis
sendiri termasuk yang setuju dengan pendirian .kelompok ini, sehingga pemahaman
penulis mengenai ”cyber law” didasarkan atas satu konstruksi hukum yang
mensintesiskan prinsip-prinsip hukum tradisional dengan norma-norma hukum baru yang
terbentuk akibat dari aktivitas-aktivitas manusia lewat Internet.
Cyber Law
Secara akademis, terminologi ”cyber law” tampaknya belum menjadi terminologi yang
sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuk
tujuan yang sama seperti The law of the Inlernet, Law and the Information
Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak
hanya sekedar terjemahan atas terminologi ”cyber law”. Sampai saat ini ada beberapa
istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem
Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Bagi penulis, istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan.
Yang penting, di dalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek-aspek hukum
yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami
apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang
berikaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah ”cyber law”.
Sebagaimana dikemukakan di atas, lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan
hukum yang dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat dari
pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisi.onal yang tidak
sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari Internet
itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsepkonsep
hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep ini
berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para
pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan
kewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang
pakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan
meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah terjadi semacam ”paradigm shift”
dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens.
Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace
ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif
terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat pemanfaatan Internet. Aturan
hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the
legal needs) para pihak yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet. Untuk itu
penulis cenderung menyetujui proposal dari Mefford yang mengusulkan ”Lex
Informatica” (Independent Net Law) sebagai ”Foundations of Law on the Internet".
Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai ”Lex Mercatoria”
yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon
kebutuhan-kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang
mendapati kenyataan bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam
menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan internasional.
Secara demikian maka ”cyber law” dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.
Ruang Lingkup ”Cyber Law”
Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas
persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan
pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan atau ’ aspek hukum dari E-Commerce, Trademark/Domain Names,
Privacy and Security on the Internet, Copyright, Defamation, Content Regulation, Disptle
Settlement, dan sebagainya.
Berikut ini adalah ruang lingkup atau area yang harus dicover oleh cyberlaw. Ruang
lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi
pada pemanfaatan Internet dikemudian hari.
1. Electronic Commerce.
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak dalam bidang retail seperti
perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World Wide Web (www). Tapi saat ini ECommerce
sudah melangkah jauh menjangkau aktivitas-aktivitas di bidang perbankan
dan jasa asuransi yang meliputi antara lain ”account inquiries”, ”1oan transaction”, dan
sebagainya. Sampai saat ini belum ada pengertian yang tunggal mengenai E-Commerce.
Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk- bentuk baru dari ECommerce
dan tampaknya E-Commerce ini merupakan salah satu aktivitas cyberspace
yang berkembang sangat pesat dan agresif. Sebagai pegangan (sementara) kita lihat
definisi E-Commerce dari ECEG-Australia (Electronic Cornmerce Expert Group) sebagai
berikut: “Electronic commerce is a broad concept that covers any commercial transaction
that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex,
EDI, Internet and the telephone”.
Secara singkat E-Commerce dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik barang
maupun jasa lewat media elektronik. Dalam operasionalnya E-Commerce ini dapat
berbentuk B to B (Business to Business) atau B to C (Business to Consumers). Khusus
untuk yang terakhir (B to C), karena pada umumnya posisi konsumen tidak sekuat
perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa persoalan yang menyebabkan para
konsumen agak hati-hati dalam melakukan transaksi lewat Internet.
Persoalan tersebut antara lain menyangkut masalah mekanisme pembayaran (payment
mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk). Mekanisme
pembayaran dalam E-Commerce dapat dilakukan dengan cepat oleh konsumen dengan
menggunakan ”electronic payment”. Pada umumnya mekanisme pembayaran dalam ECommerce
menggunakan credit card. Karena sifat dari operasi Internet itu sendiri, ada
masalah apabila data credit card itu dikirimkan lewat server yang kurang terjamin
keamanannya.
Selain itu, credit card tidak ”acceptable” untuk semua jenis transaksi. Juga ada masalah
apabila melibatkan harga dalam bentuk mata uang asing.
Persoalan jaminan keamanan dalam E-Commerce pada umumnya menyangkut transfer
informasi seperti informasi mengenai data-data credit card dan data-data individual
konsumen. Dalam area ini ada dua masalah utama yang harus diantisipasi yaitu (1)
”identification integrity” yang menyangkut identitas si pengirim yang dikuatkan lewat
”digital signature”, dan (2) adalah ”message integrity” yang menyangkut apakah pesan
yang dikirimkan oleh si pengirim itu benar-benar diterima oleh si penerima yang
dikehendaki (intended recipient). Dalam kaitan ini pula para konsumen memiliki
kekhawatiran adanya ”identity theft”’atau ”misuse of information” dari data-data yang
diberikan pihak’ konsumen kepada perusahaan.
Persoalan-persoalan/Aspek-aspek hukum terkait.
a. Kontrak Persoalan mengenai kontrak dalam E-Commerce mengemuka karena dalam
transaksi ini kesepakatan antara kedua belah pihak dilakukan secara elektronik.
Akibatnya, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional seperti waktu dan tempat
terjadinya suatu kontrak harus mengalami modifikasi. Sebagai contoh, the UNCITRAL
Model Law on Electronic Commerce dalam Pasal 15 memberikan panduan sebagai
berikut:
(1) Unless otherwise agreed between the originator and the addressee, the dispatch of a
data message occurs when it enters an information system outside the control of the
originator or of the person who sent the data message on behalf of the originator,
(2) Unless otherwise agreed between the originator and the addressee, the time of receipt
of a data message is determined as follows: (a) if the addressee has designated an
information system for the purpose of receiving data messages, receipt occurs: (i) at the
time when the data message enters the designated information system; or “originator”of
a data message means a person by whom, or on whose behalf; the data message purports
to have been sent or generated prior to storage, if any, but it does not include person
acting as an intermediary with respect to that data message” (Art.2c of the UNCITRAL
Model Law). ” addressee” of a data message means a person who is intended by the
originator to receive the data message, but does not include a person acting as an
intermediary with respect to that data message (Art.2d of the UNClTRAL Model Law).
(ii) if the data message is sent to an information system of the addressee that is.not the
designate information system, at the time when the data message is retrieved by the
addresse; (b) if the addressee has not designated an information system, receipt occurs
when the data message enters an information system of the addresse.
Selain masalah diatas masih banyak aspek-aspek hukum kontrak lainnya yang harus
dimodifikasi seperti kapan suatu kontrak E-Commerce dinyatakan berlaku mengingat
kontrak-kontrak dalam Internet itu didasarkan atas ”click and-point agreements”. Apakah
electronic contract itu dapat dipandang sebagai suatu kontrak tertulis? Bagaimana fungsi
dan kekuatan hukum suatu tanda tangan elektronik (Digital Signature), dan sebagainya.
b. Perlindungan konsumen
Masalah perlindungan konsumen dalam E-Commerce merupakan aspek yang cukup
penting untuk diperhatikan, karena beberapa karakteristik khas E-Commerce akan
menempatkan pihak konsumen pada posisi yang lemah atau bahkan dirugikan seperti;
Perusahaan di Internet (the Internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu
negara tertentu, sehingga hal ini akan menyulitkan konsumen untuk mengembalikan
produk yang tidak sesuai dengan pesanan;
Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk mendapatkan ”local follow up service or
repair”;
Produk yang dibeli konsumen ada kemungkinan tidak sesuai atau tidak kompatibel
dengan persyaratan lokal (loca1 requirements);
Dengan karakteristik E-Commerce seperti ini konsumen akan menghadapi persoalan
hukum yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran, kontrak, dan perlindungan
terhadap data-data individual konsumen yang diberikan kepada pihak perusahaan.
Undang-undang perlindungan konsumen masing-masing negara seperti yang dimiliki
Indonesia tidak akan cukup mer.ibantu, karena E-Commerce beroperasi secara lintas
batas (borderless).
Untuk panduan mengenai keabsahan digital signatures lihat UNCITRAL Model Law on
Electronic Commerce Pasal 7.
Dalam kaitan ini, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan pendekatan
internasional melalui harmonisasi hukum dan kerjasama institusi-institusi penegak
hukum.
c. Pajak (Taxation)
Pengaturan pajak merupakan persoalan yang tidak mudah untuk diterapkan dalam ECommerce
yang beroperasi secara lintas batas. Masing-masing negara akan menemui
kesulitan untuk menerapkan ketentuan pajaknya, karena baik perusahaan maupun
konsumennya sulit dilacak secara fisik. Dalam masalah ini Amerika telah mengambil
sikap bahwa ”no discriminatory taxation against Internet Commerce”. Namun, dalam
urusan tarif (bea masuk) Amerika mempertahankan pendirian bahwa Internet harus
merupakan ”a tariff free zone”. Sedangkan Australia berpendirian bahwa ”the tariff-free
policy” itu tidak boleh diberlakukan untuk ”tangible products” yang dibayar secara online
tapi dikirimkan secara konvensional.
Kerumitan-kerumitan dalam masalah perpajakan ini menyebabkan prinsip-prinsip
perpajakan internasional seperti ”source of income”, ”residency”, dan ”place of
permanent establishment” harus ditinjau kembali. Sistem perpajakan nasional akan
menghadapi persoalan yang cukup serius dimasa depan apabila tidak diantisipasi mulai
dari sekarang. Namun, upaya yang dilakukan harus melalui satu pendekatan internasional
baik melalui harmonisasi hukum maupun kerjasama institusi penegak hukum.
d. Jurisdiksi (Jurisdiction)
Peluang yang diberikan oleh E-Commerce untuk terbukanya satu bentuk baru
perdagangan internasional pada saat yang sama melahirkan masalah baru dalam
penerapan konsep yurisdiksi yang telah mapan dalam sistern, hukum tradisional. Prinsipprinsip
yurisdiksi seperti tempat terjadinya transaksi (the place of transaction) dan hukum
kontrak (the law of contract) menjadi usang (obsolete) karena operasi Internet yang lintas
batas. Persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan upaya-upaya di level nasional, tapi
harus melalui kerjasama dan pendekatan internasional
e. Digital Signature
Digital signature merupakan salah satu isu spesifik dalam E-Commerce. Digital signature
ini pada prinsipnya berkenaan dengan jaminan untuk ”message integrity” yang menjamin
bahwa si pengirim pesan (sender) itu benar-benar orang yang berhak dan bertanggung
jawab untuk itu (the sender is the person whom they purport to be). Hal ini berbeda
dengan ”real signature” yang berfungsi sebagai pangakuan dan penerimaan atas isi
pesan/dakumen, Persoalan hukum yang muncul seputar ini antara lain berkenaan dengan
fungsi dan kekuatan hukum digital signature. Di Amerika saat ini telah ditetapkan satu
undang-undang yang secara formal mengakui keabsahan digital signature. Pada level
internasional panduannya bisa dilihat dalam Pasal 7 UNCITRAL Model law.
e. Copy Right.
Internet dipandang sebagai media yang bersifat ”low-cost distribution channel” untuk
penyebaran informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan buku.
Produk-produk tersebut saat ini didistribusikan lewat ”physical format” seperti video dan
compact disks. Hal ini memungkinkan untuk didownload secara mudah oleh konsumen.
Sampai saat ini belum ada perlindungan hak cipta yang cukup memadai untuk
menanggulangi masalah ini.
f. Dispute Settlement
Masalah hukum lain yang tidak kalah pentingnya adalah berkenaan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa yang .cukup memadai untuk mengantisipasi sengketa yang
kemungkinan timbul dari transaksi elektronik ini. Sampai saat ini belum ada satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai baik di level nasional maupun
internasional. Sehingga yang paling mungkin dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
saat ini adalah menyelesaikan sengketa tersebut secara konvensional.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya,
tapi mengapa penyelesaiannya di dunia nyata. Apakah tidak mungkin untuk dibuat satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang juga bersifat virtual (On-line Dispute
Resolution).
Domain Name
Domain name dalam Internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti nomor
telepon atau sebuah alamat. Contoh, domain name untuk Monash University Law School,
Australia adalah ”law.monash.edu.au”. Domain name dibaca dari kanan ke kiri yang
menunjukkan tingkat spesifikasinya, dari yang paling umum ke yang paling khusus.
Untuk contoh di atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai geographical region,
sedangkan ”edu” artinya pendidikan (education) sebagai Top-level Domain name (TLD)
yang menjelaskan mengenai tujuan dari institusi tersebut. Elemen seIanjutnya adalah
”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain name” (SLD) yang dipilih oleh
pendaftar domain name, sedangkan elemen yang terakhir ”law” adalah ”subdomain” dari
monash Gabungan antara SLD dan TLD dengan berbagai pilihan subdomain disebut
”domain name”.
Domain names diberikan kepada organisasi, perusahaan atau individu oleh InterNIC (the
Internet Network Information Centre) berdasarkan kontrak dengan the National Science
Foundation (Amerika) melalui Network Solutions, Inc. (NSI). Untuk mendaftarkankan
sebuah domain name melalui NSI seseorang cukup membuka situs InterNIC dan mengisi
sejumlah form InterNIC akan melayani para pendaftar berdasarkan prinsip ”first come
first served”. InterNIC tidak akan memverifikasi mengenai ’hak’ pendaftar untuk
memilih satu nama tertentu, tapi pendaftar harus menyetujui ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam ”NSI’s domain name dispute resolution policy”. Berdasarkan ketentuan
tersebut, NSI akan menangguhkan pemakaian sebuah domain name yang diklaim oleh
salah satu pihak sebagai telah memakai merk dagang yang sudah terkenal.
KESIMPULAN
Perkembangan teknologi informasi (TI) dan khususnya juga Internet ternyata tak hanya
mengubah cara bagaimana seseorang berkomunikasi, mengelola data dan informasi,
melainkan lebih jauh dari itu mengubah bagaimana seseorang melakukan bisnis. Banyak
kegiatan bisnis yang sebelumnya tak terpikirkan, kini dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat dengan model-model bisnis yang sama sekali baru. Begitu juga, banyak kegiatan
lainnya yang dilakukan hanya dalam lingkup terbatas kini dapat dilakukan dalam
cakupan yang sangat luas, bahkan mendunia.
Namun, lebih dari itu, perubahan-perubahan yang terjadi juga dinilai sangat revolusioner.
Munculnya bisnis dotcom, meski terbukti sebagian besar mengalami kegagalan, tetapi
sebagian besar lainnya mengalami keberhasilan, dan sekaligus ini dianggap fenomenal.
Karena selain itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru, dimensinya pun segera
mendunia
Di sisi lain, perkembangan TI dan Internet ini, juga telah sangat mempengaruhi hampir
semua bisnis di dunia untuk terlibat dalam implementasi dan menerapkan berbagai
aplikasi. Banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diraih kalangan bisnis dalam kaitan
ini, baik dalam konteks internal (meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi), dan
eksternal (meningkatkan komunikasi data dan informasi antar berbagai perusahaan
pemasok, pabrikan, distributor) dan lain sebagainya.
Namun, terkait dengan semua perkembangan tersebut, yang juga harus menjadi perhatian
adalah bagaimana hal-hal baru tersebut, misalnya dalam kepastian dan keabsahan
transaksi, keamanan komunikasi data dan informasi, dan semua yang terkait dengan
kegiatan bisnis, dapat terlindungi dengan baik karena adanya kepastian hukum. Mengapa
diperlukan kepastian hukum yang lebih kondusif, meski boleh dikata sama sekali baru,
karena perangkat hukum yang ada tidak cukup memadai untuk menaungi semua
perubahan dan perkembangan yang ada.
Masalah hukum yang dikenal dengan Cyberlaw ini tak hanya terkait dengan keamanan
dan kepastian transaksi, juga keamanan dan kepastian berinvestasi. Karena, diharapkan
dengan adanya pertangkat hukum yang relevan dan kondusif, kegiatan bisnis akan dapat
berjalan dengan kepastian hukum yang memungkinkan menjerat semua fraud atau
tindakan kejahatan dalam kegiatan bisnis, maupun yang terkait dengan kegiatan
pemerintah
Banyak terjadi tindak kejahatan Internet (seperti carding), tetapi yang secara nyata hanya
beberapa kasus saja yang sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini dikarenakan hakim
sendiri belum menerima bukti-bukti elektronik sebagai barang bukti yang sah, seperti
digital signature. Dengan demikian cyberlaw bukan saja keharusan melainkan sudah
merupakan kebutuhan, baik untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, dengan
semakin banyak terjadinyanya kegiatan cybercrime maupun tuntutan komunikasi
perdaganganmancanegara (cross border transaction) ke depan.
Karenanya, Indonesia sebagai negara yang juga terkait dengan perkembangan dan
perubahan itu, memang dituntut untuk merumuskan perangkat hukum yang mampu
mendukung kegiatan bisnis secara lebih luas, termasuk yang dilakukan dalam dunia
virtual, dengan tanpa mengabaikan yang selama ini sudah berjalan. Karena, perangkat
hukum yang ada saat ini ditambah cyberlaw, akan semakin melengkapi perangkat hukum
yang dimiliki. Inisiatif ini sangat perlu dan mendesak dilakukan, seiring dengan semakin
berkembangnya pola-pola bisnis baru tersebut.
Sejak Maret 2003 lalu Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Menkominfo)
mulai menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik (IETE) - yang semula bernama Informasi, Komunikasi dan
Transaksi Elektronik (IKTE). RUU ITE itu merupakan gabungan dari dua RUU, yaitu
RUU tentang Pemanfaatan TI (PTI), dan Tandatangan Elektronik dan Transaksi
Elektronik (TE). RUU PTI disusun oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi, Departemen
Perhubungan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(Unpad) dan Tim asistensi dari ITB. Sedang RUU TE dimotori oleh Lembaga Kajian
Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI) dengan jalur Departemen Perindustrian
dan Perdagangan.
RUU tersebut dimaksudkan menjadi payung bagi aturan-aturan yang ada di bawahnya.
Hanya saja, jika semua aspek dimasukkan, sehingga menjadi sangat luas, bisa jadi justru
membingungkan, sehingga pengimplementasiannya menjadi tidak optimal. Idealnya,
pemerintah perlu membuat UU untuk setiap bagian khusus seperti digital signature, ebanking,
e-Governmet, atau UU spesifik lainnya. Tetapi, itu harus mau menunggu lebih
lama lagi karena sampai saat ini belum ada pegangan dalam bentuk UU lain. Sementara
jumlah topik yang harus dibahas sangat banyak.
Yang menarik, RUU PTI juga mengatur perluasan masalah yurisdiksi yang
memungkinkan pengadilan Indonesia mengadili siapa saja yang melakukan tindak pidana
bidang TI yang dampaknya dirasakan di Indonesia. Contohnya, jika cracker asing
melakukan kejahatan terhadap satu bank di Indonesia, maka berdasarkan pasal 33 dan 34
RUU PTI, pengadilan Indonesia berwenang mengadili orang itu jika masuk ke Indonesia.
Selama ini, kejahatan yang melibatkan orang Indonesia dan asing sangat marak, namun
penyidikan kejahatan cyber tersebut selalu terganjal masalah yurisdiksi ini.
Hal tersebut seharusnya memang diantisipasi sejak awal, karena eksistensi TI dengan
perkembangannya yang sangat pesat telah melahirkan kecemasan-kecemasan baru seiring
maraknya kejahatan di dunia cyber yang semakin canggih. Lebih dari itu, TI yang tidak
mengenal batas-batas teritorial dan beroperasi secara maya juga menuntut pemerintah
mengantisipasi aktivitas-aktivitas baru yang harus diatur oleh hukum yang berlaku,
terutama memasuki pasar bebas AFTA yang telah dimulai awal tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar